Jumat, 31 Januari 2014

Mawaris

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam menganjurkan, supaya pemeluk-pemeluknya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi. Dari sekian banyak ilmu, yang tidak kurang pentingnya untuk dipelajari adalah ilmu faraidh (pembagian harta warisan). Rasulullah bersabda :
تَعَلَّمُوْاالْفَرَائِضَ وَعَلِمُوْهَا النَّاسَ فَإِنِّى امْرُؤٌمَقْبُوْضٌ وَاِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُالْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اِثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِى بَيْنَهُمَا ( رواه الحاكم )
“Pelajarilah ilmu faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkan kepada manusia. Sesungguhnya aku seorang manusia yang bakal dicabutnya waktu dan ilmu itupun akan turut tercabut pula.Bakal lahirlah nanti fitnah-fitnah, sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang mengenai warisan, maka tidak didapatinya orang yang akan memberikan putusan (mengenai perselisihan yang terjadi) di antara keduanya” (H.R. Hakim ) .
Adapun tujuan utama mempelajari faraidh adalah, agar kita dapat mengetahui dengan sebenar-benarnya tentang pembagian warisan yang berhak, sehingga tidak sampai terjadi seseorang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal. Sebab, apabila seseorang telah meninggal dunia, maka harta peninggalannya telah terlepas dari pada hak miliknya dan berpindah menjadi milik orang lain yaitu orang yang menjadi ahli warisnya.
Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagikan, statusnya masih tetap menjadi hak milik bersama dari ahli waris. Kadang-kadang di antara ahli waris itu, terdapat anak-anak yatim. Jadi dengan adanya pembagian harta warisan menurut ketentuan Agama Islam, selamatlah orang dari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yaitu mengambil dan memakan hak dan milik orang lain dan anak-anak yatim dengan jalan yang tidak halal.
Di samping itu, kita tentu telah mendengar ataupun melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa perselisihan sering terjadi di antara orang bersaudara, disebabkan pembagian harta warisan. Bahkan perselisihan tersebut, ada yang membawa kepada permusuhan bahkan pembunuhan. Perselisihan dan permusuhan bahkan dapat diatasi, apabila ada pengetahuan mengenai pembagian harta warisan itu dan adanya kesadaran untuk menjalankan ajaran-ajaran agama Islam.
B.    Rumusan Masalah
1.    Jelaskan Definisi Mawaris ?
2.    Konsep Mawaris ?
3.    Bagaimana Permasalahan dalam Mawaris ?
C.    Tujuan
1.    Mahasiswa Dapat Menjelaskan Definisi Mawaris.
2.    Mahasiswa Dapat Mengetahui Konsep Mawaris.
3.    Mahasiswa Dapat Menyebutkan Permasalahan dalam Warisan.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Mawaris
Dari segi bahasa, kata mawaris (موارث) merupakan bentuk jamak dari kata مِيْرَاثٌ  artinya harta yang diwariskan. Secara istilah, berarti ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraidh  (فَرَائِضِ). Kata faraidh dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari  فَرِيْضَةٌ  yang berarti ketentuan, bagian atau ukuran.
Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut hukum Islam. Disebut ilmu faraidh karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap masing-masing ahli waris. Sebagaimana definisi faraidh di bawah ini :
وَاَمَّافِى الشَّرْعِ فَالْفَرْضُ نَسِيْبٌ مُقَدَّرٌشَرْعًالِمُسْتَحِقِّهِ
“Adapun ilmu faraidh menurut syara’ adalah bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi yang berhak ( ahli waris ).
Orang yang meninggal dunia (yang mewariskan) disebut Al Muwaris (اَلمُوَرِّثْ) bentuk jamaknya اَلمُوَرِّثُوْنَ  sedangkan ahli warisnya (yang mewarisi) disebut Al Waris  اَلوَارِثْ ) (  bentuk jamaknya  اَلْوَارِثُوْنَdan harta peninggalan atau harta  pusakanya disebut Al Mirats اَلْمِيْرَاثْ  atau al irst الآِرْثٌ .
Ada beberapa Istilah dalam Fiqh Mawaris yang berkaitan dengan ilmu faraidh antara lain :
1.    Waris, adalah ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak menerima warisan, dalam fiqih ahli waris semacam ini disebut dzawil  arham.  Waris bisa timbul karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan dan karena akibat memerdekakan hamba.
2.    Muwaris, artinya orang yang mewarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki atau secara taqdiry (perkiraan), atau melalui keputusan hakim.  Seperti orang yang hilang (al mafqud) dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia telah dinyatakan meninggal dunia.
3.     Al Irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.
4.    Warasah, yaitu harta warisan  yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
5.     Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang, dan pelaksanaan wasiat.
B.    Konsep mawaris
Konsep keadilan dalam fiqih mawaris ini karena dilatar belakangi oleh tidak samanya bagian – bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris terhadap harta milik pewaris, setelah dia meninggal dunia. Tidak jarang, karena tidak samanya kadar pembagian itu banyak menyebabkan terjadinya perselisihan-perselisihan antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain. Bukan hanya itu, naasnya lagi tidak jarang antara ahli waris bisa saling membunuh saudaranya dikarenakan jumlah kadar yang diterima ahli waris itu tidak seimbang dengan ahli waris yang lain. Ahli waris melakukan tindakan itu dikarenakan rasa ketidakadilan yang dia terima dalam pembagian harta warisan.
Sebagai hukum agama yang bersumber pada wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, fiqih mawaris (Hukum Kewarisna) mengandung berbagai azas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Disamping itu dalam hal tertentu mempuyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai azas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dalam hukum kewarisan itu sendiri. Azas ini terdiri dari:
1.    Azas Ijbari
Secara leksikal azas ini mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam artian hukum kewarisan mengandung arti bahwa peralihan harta itu terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah S.W.T tanpa tergantung pada kehendak pewaris. Mengenai ketentuan azas ijbari ini didasari oleh ketentuan firman Allah S.W.T dalam surah an-Nisa ayat 7.
Adanya azas ijbari dalam hukum kewarisan menurut Zainuddin Ali dapat dilihat dari beberapa segi:
a.    Dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari al-Qur’an surah an-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa laki –laki dan perempuan ada bagian warisan harta dari peninggalan ibu, bapak, dan keluarga dekatnya.
b.    Jumlah harta yang sudah ditentukan masing-masing ahli waris. Hal ini tercermin dari kata-kata mafrudhan yang makna asalnya adalah ditentukan atau diperhitungkan.
c.    Kepastian menerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci dalam surah an-Nisa ayat 11,12,176. Rincian ahli waris dan pembagiannya yang sudah pasti itu, tidak ada sesuatu kekuasaan manusiapun yang dapat merubahnya.
2.     Azas Bilateral
Azas Bilateral berarti harta warisan beralih kepada ahli waris melalui dua jalur yaitu jalur laki –laki dan perempuan. Hal ini setiap orang berhak menerima harta dari kedua belah pihak garis keturunan tersebut. Azas ini didapatkan setelah digali keseluruhan ayat –ayat hukum mengenai kewarisan yang terdapat dalam al-Qur’an yaitu surah an-Nisa. Ayat ini dapat dipahami bahwa setiap laki-laki berhak mendapat harta peninggala dari pihak ayah dan ibu dan kerabatnya. Begitu juga sebaliknya perempuan berhak mendapat harta dari pihak ayah dan ibu dan kerabatnya sedikit atau banyak.
3.     Azas Individual
Hukum Islam mengajarkan azas kewarisan secara individual. Artinya harta warisan dapat dibagi –bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.
Azas individual dalam kewarisan ini didapati setelah meneliti keseluruhan ayat yang menyangkut tentang kewarisan. Diantaranya terdapat dalam surah an –Nisa ayat 7. 
Dari ayat diatas secara garis besar menjelaskan bahwa laki –laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.
4.    Azas keadilan Berimbang
Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al –Adlu(العدل) . Kata ini disebutkan dalam al-Qur’an lebih dari 28 kali. Dalam azans keadilan pada hukum kewarisan secara sadar dapat dikatakan bahwa laki –laki maupun perempuan sama –sama berhak tampil sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan si pewaris.
Dalam surah an-Nisa ayat 7 dinyatakan baik laki-laki maupun perempuan sama mempunyai hak yang sama dalam hukum kewarisan Islam. Hanya saja dalam surah an-Nisa ayat 11 diatur bahwa anak laki –laki mendapat dua kali bagian dari anak perempuan.
5.    Azas semata akibat kematian
Azas semata akibat kematian dalam hukum Islam berarti kewarisan itu ada kalau ada yang meninggal dunia. Azas ini berarti harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Azas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari penggunaan kata –kata waratsa yang banyak terdapat dalam al-Qur’an: Surah al-Baqarah ayat 233, Surah an-Nisa ayat 11 dan Surah an-Nisa ayat 12.
C.    Permasalahan dalam Mawaris
1.    Klasifikasi Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Ahli waris tersebut adalah baik laki-laki mapun perempuan, baik yang mendapatkan bagian tertentu (Dzawil Furudh), maupun yang mendapatkan sisa (Ashabah), dan yang terhalang (Mahjub) maupun yang tidak. Ditinjau dari sebab-sebab seseorang menjadi ahli waris, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.    Ahli waris Sababiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami atau istri.
b.    Ahli waris Nasabiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan nasab atau  pertalian darah dengan orang yang meninggal. Ahli waris nasabiyah ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
a)    Ushulul Mayyit, yang terdiri dari bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya ke atas (garis keturunan ke atas).
b)    Al Furu’ul Mayyit, yaitu anak, cucu, dan seterusnya sampai ke bawah (garis keturunan ke bawah).
c)    Al Hawasyis, yaitu saudara paman, bibi, serta anak-anak mereka (garis keturunan ke samping) Dari segi jenis kelamin, ahli waris, dibagi menjadi ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Selanjutnya, jika seluruh ahli waris ada baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat bagian adalah suami/istri, Bapak/ibu dan anak ( laki-laki dan perempuan ).
2.     Furudhul Muqadzara
Furudzul Muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an bagi ahli waris tertentu juga.
3.    Dzawil Furud
Dzawil Furudh adalah orang-orang dari ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu sebagaimana tersebut di atas, disebut juga Ashabul Furudh.
4.    Ashabah
Menurut bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”Ashib” yang artinya mengikat, menguatkan hubungan kerabat/nasab. Menurut syara’ ’ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta dibagi kepada ahli waris dzawil furudz.
Ahli waris yang menjadi ’ashabah kemungkinan mendapat seluruh harta, karena tidak ada ahli waris dzawil furudh, akan mendapat sebagaian sisa ketika ia bersama ahli waris dzawil furudh, atau bahkan tidak mendapatkan sisa sama sekali karena sudah habis dibagikan kepada ahli waris dzawil furudh.
Di dalam istilah ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah ada tiga yaitu :
a.    ‘Ashabah Binnafsi yaitu menjadi ‘ashabah dengan sebab sendirinya, tanpa disebabkan oleh orang lain.
Apabila semua ‘ashabah-‘ashabah ada, maka tidak semua ‘ashabah mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang (‘ashabah-‘ashabah) yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
b.    ‘Ashabah Bilgha’ir yaitu anak perempuan, cucu peremuan, saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka masing-masing ( ‘Ashabah dengan sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).
Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara membaginya ialah, untuk saudara laki-laki dua kali lipat saudara perempuan.
c.    ‘Ashabah Ma’algha’ir ( ‘ashabah bersama orang lain ) yaitu ahli waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain.
5.      Hijab
Hijab adalah penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan sama sekali ataupun pengurangan bagian harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat pertaliaannya ( hubungannya ) dengan orang yang meninggal.Oleh karena itu hijab ada dua macam, yaitu;
a.    حِجَابْ حِرْمَانِ (hijab hirman) yaitu penghapusan seluruh bagian , karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan orang yang meninggal itu. Contoh cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
b.     حِجَابْ نُقْصَانْ (hijab nuqshon) yaitu pengurangan bagian dari harta warisan, karena ada ahli waris lain yang bersama-sama dengan dia. Contoh : ibu mendapat 1/3 bagian, tetapi yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu atau beberapa saudara, maka bagian ibu berubah menjadi 1/6.
Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak mendapat bagian) yang disebut مَحْجُوْبٌ حِرْمَانِ(mahjub hirman), ada ahli waris yang hanya bergeser atau berkurang bagiannya yang disebut  مَحْجُوْبٌ نُقْصَانْ(mahjub nuqshan) Ahli waris  yang terakhir ini tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris ada, mereka tetap akan mendapat bagian harta warisan meskipun dapat berkurang. Mereka adalah ahli waris dekat yang disebut  الاَقْرَبُوْنَ  (Al Aqrabun) mereka terdiri dari : Suami atau istri, Anak laki-laki dan anak perempuan, Ayah dan ibu.

Ahli waris yang terhalang :
Berikut di bawah ini ahli waris yang terhijab atau terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan yang meninggal adalah :
a)    Kakek (ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek tidak mendapat bagian.
b)    Nenek (ibu dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu
c)    Nenek dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu
d)    Cucu dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh anak laki-laki
e)    Saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
1.    anak laki-laki
2.     cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.     Ayah dll.
Masalah-masalah Tertentu dalam Pembagian Warisan
a.    Masalah Gharawain
Gharawain menurut bahasa adalah dua perkara yang sudah jelas, yakni dua masalah yang sudah jelas dan terkenal di kalangan ulama. Masalah gharawain hanya terjadi apabila ahli waris yang ditinggalkan pewaris hanya terdiri atas ibu, bapak dan suami atau istri. Masalah gharawain merupakan hasil pemikiran Umar ra. Masalah gharawain pada prakteknya memang jarang terjadi. Masalah ini lebih terkenal dengan sebutan umariyatain, atau garibatain. Disebut demikian karena sangat jarang terjadi.
Mengenai warisan gharawain, para fuqaha berpendapat sebagaimana yang dikemukakan Umar ra. yaitu memberikan bagian untuk ibu sebesar 1/3 sisa harta peninggalan setelah dikurangi bagian suami atau istri.
Masalah gharawain terjadi jika ahli waris terdiri dari suami atau istri, ibu dan ayah. Dalam hal ini ibu tidak mendapat 1/3 dari keseluruhan harta sebagaimana ketentuan QS. An-Nisa ayat 11. Tetapi  ibu memperoleh 1/3 dari sisa setelah diambil oleh bagian suami atau istri.
         Kata gharawain sendiri berarti dua bintang yang cemerlang.  Yang memutuskan masalah ini adalah Umar bin Khattab dan mendapat dukungan mayoritas sahabat.
b.    Masalah Musyarakah
Musyarakah adalah bergabungnya ahli waris yang tidak mendapatkan bagian harta, kepada ahli waris lain yang mendapat bagian harta warisan. Masalah musyarakah terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu atau nenek perempuan, dua orang saudara seibu atau lebih dan saudara laki-laki kandung seorang atau lebih. Pada kaidah umum bahwa dua sdr. laki-laki sekandung menjadi ashabah binnafsi. Namun karena tidak mendapat sisa harta, karena telah dihabiskan ahli waris dzawil furudh, maka sdr. laki-laki sekandung bergabung dengan sdr. seibu atas nama saudara seibu dengan mendapatkan bagian 1/3. Masalah musyarakah ini terkenal pula dengan Umariyah karena masalah musyarakah merupakan putusan (Umar bin Khattab ra.)
c.      Masalah Akdariyah
Masalah akdariyah adalah kelanjutan dari masalah bertemunya kakek dan saudara dalam satu kelompok ahli waris. Dalam kasus waris akdariyah, semua ahli waris ditambah dengan suami yang menyebabkan bagian bersama kakek, saudara perempuan, dan ibu semakin kecil. Dalam masalah ini pula patut dipertimbangkan agar kakek tidak mendapatkan yang kecil.
 Masalah akdariyah terjadi jika ahli waris terdiri dari : suami, ibu, kakek dan seorang saudara perempuan kandung. Menurut pembagian di atas, kakek mendapat 1 bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung mendapat 3 bagian. Menurut pembagian akdariyah yaitu pendapat Zaid bin Tsabit, bagian kakek ( 1 bagian ) dan bagian saudara kandung ( 3 bagian ) dijadikan satu yaitu ( 4 bagian ) dibagi bersama dengan ketentuan laki-laki mendapat 2 kali bagian perempuan.

d.    Munasakhah
Sering terjadi dalam suatu kasus warisan bahwa sebelum harta warisan dibagi kepada ahli waris, tiba- tiba tersusul oleh kematian salah seorang ahli waris lain dan seterusnya.
Kejadian tersebut berakibat bahwa hak waris atau warisan yang belum diterima itu pindah menjadi hak ahli warisnya. Perpindahan hak waris seseorang yang belum diterima kepada ahli warisnya itu disebut munasakhah.
e.    Takharuj (Tashalul)
Apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli waris dari haknya atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu, dari harta warisan atau harta lain, disebut takhruj atau tashalul.
f.    Pembagian Warisan dengan Cara Wasiat
Sering terjadi bahwa seorang yang akan meninggal memanggil ahli warisnya untuk menyampaikan pesan terakhir/wasiat agar sepeninggalnya nanti, harta warisannya dibagi dengan cara tertentu.
g.    Hibah Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan
Dalam hukum adat di jawa, banyak dilakukan orang bahwa apabila seorang anak sudah berumah tangga dan akan mendirikan kehidupan rumah tangga sendiri, terpisah dari orang tuanya, kepadanya diberikan barang untuk modal hidupnya. Kelak barang pemberian itu diperhitungkan sebagai warisan.
h.     Gana – Gini
Harta kekayaan keluarga berasal dari kerja yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.
i.    Shadaqah Jariyah Atas Nama Pewaris
Dibolehkan ahli waris menyisihkan sebagaian harta warisan dengan maksud untuk shadaqah jariyah atas nama pewaris misalnya; untuk membantu pembangunan masjid, sekolah, ruma sakit dll.

j.    Sumbangan Kematian
Sumbangan kematian itu bertujuan untuk meringankan beban keluarga dalam menyelenggarakan pemakaman jenazah. Jika ternyata terdapat kelebihan dari biaya pemakaman jenazah, kelebihan itu digabungkan kepada harta peninggalan si mayit. 


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan;
Dari segi bahasa, kata mawaris (موارث) merupakan bentuk jamak dari kata مِيْرَاثٌ  artinya harta yang diwariskan. Secara istilah, berarti ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia.
Konsep keadilan dalam fiqih mawaris ini karena dilatar belakangi oleh tidak samanya bagian – bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris terhadap harta milik pewaris, setelah dia meninggal dunia.
Berbagai azas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dalam hukum kewarisan itu sendiri. Azas ini terdiri dari:
1.    Azas Ijbari
2.    Azas Bilateral
3.    Azas Individual
4.    Azas keadilan Berimbang
5.    Azas semata akibat kematian
Permasalahan dalam Mawaris
1.    Klasifikasi Ahli Waris
2.    Furudhul Muqadzara
3.    Dzawil Furud
4.    Ashabah
5.    Hijab
Masalah-masalah Tertentu dalam Pembagian Warisan
1.    Masalah Gharawain
2.    Masalah Musyarakah
3.    Masalah Akdariyah
4.    Munasakhah
5.    Takharuj (Tashalul)
6.    Pembagian Warisan dengan Cara Wasiat
7.    Hibah Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan
8.    Gana – Gini
9.    Shadaqah Jariyah Atas Nama Pewaris
10.    Sumbangan Kematian
B.    Saran
Kita diwajibkan mempelajari faraid dan mengajarkannya kepada orang lain. Karena faraid adalah setengah ilmu dan mudah dilupakan orang serta merupakan ilmu yamng pertama kali akan hilang dari umat nabi (HR. Ibnu Majah dan Addaraqhuthni).






















DAFTAR PUSTAKA

http\\:artikel-2020-konsep-keadilan-dalam-fiqih-mawaris.html
http\\:hukum mawaris _ fiqihituindah.htm
Basyir, Ahmad Azhar, 2001, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar